Beranda | Artikel
Tafsir Al-Quran Surat As-Sajdah Bagian 1
Rabu, 2 September 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.

Tafsir Al-Qur’an Surat As-Sajdah Bagian 1 merupakan bagian dari kajian tafsir yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja, M.A. pada Rabu, 14 Muharram 1442 H / 02 September 2020 M.

Kajian Tentang Tafsir Al-Qur’an Surat As-Sajdah Bagian 1

Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الم ﴿١﴾

Ada khilaf di kalangan para ulama, tapi pendapat yang lebih kuat bahwa “Alif Laam Miim” sebagaimana yang sering kita sampaikan adalah huruf Al-Muqatha’ah, yaitu huruf yang terpotong-potong atau tidak dibaca sebagai satu kata tapi dibaca per huruf. Makanya tidak dibaca “Alam” tetapi dibaca “Alif Laam Miim”. Ketika dia dibaca per huruf, maka tidak perlu untuk diartikan. Adapun jika huruf hijaiyah terangkai menjadi kata, itu baru kita tafsirkan. Tapi kalau dibaca sebagai per huruf, maka tidak perlu ditafsirkan.

Apa hikmahnya Allah buka surat dengan huruf Al-Muqatha’ah? Yaitu untuk mengingatkan kepada orang-orang kafir Quraisy yang mereka ahli bahasa Arab, bahwasannya Al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka, mereka adalah ahli syair dan mereka berbicara dengan huruf-huruf hijaiyah. Dan diantara huruf hijaiyah tersebut adalah “Alif Lam Mim”. Namun meskipun mereka tahu betul bahasa Arab dan mereka pakar bahasa Arab, mereka tidak bisa mendatangkan semisal Al-Qur’an.

Maka kalau ada surat-surat yang dibuka dengan huruf Al-Muqatha’ah, biasanya itu untuk menunjukkan tentang tentang Al-Qur’an. Contoh juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الم ﴿١﴾ ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾

Pada ayat ini, setelah “Alif Laam Miim” Allah langsung berbicara tentang Al-Qur’an.

Seperti surat As-Sajdah ini, pada ayat ke-2 Allah berfirman:

تَنزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾

Al-Qur’an yang diturunkan tidak ada keraguan di dalamnya dari Rabbil ‘Alamin.” (QS. As-Sajdah[32]: 2)

Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Al-Qur’an tidak ada keraguan di dalamnya. Benar, orang-orang musyrikin harusnya tidak ragu, mereka bisa cek isi Al-Qur’an yang tidak ada pertentangan di dalamnya sama sekali. Kemudian mereka tahu bahwa Al-Qur’an  ini turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mereka tidak mampu membuat semisal Al-Qur’an bahkan tidak mampu mendatangkan 10 surat seperti Al-Qur’an, bahkan tidak mampu mendatangkan satu surat seperti Al-Qur’an. Jadi tidak ada keraguan, bisa dicek.

Kemudian: “dari Rabbil ‘Alamin”. Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan kata “Rabb” yaitu rububiyah. Kita tahu diantara sifat rububiyah Allah itu masalah pengaturan terhadap makhluk, kata sebagian ulama dari kata “tarbiyah”, yaitu Allah mentarbiyah makhluk. Dan diantara cara Allah mentarbiyah makhluk selain mengutus Rasulullah adalah dengan Al-Qur’an. Ini adalah tarbiyah yang terbaik. Selama mereka berpegang teguh dengan Al-Qur’an, maka bisa terbina akhlak mereka, mereka mengenal hukum-hukum, mereka bisa berjalan dengan baik. Jika mereka meninggalkan Al-Qur’an, maka mereka akan celaka dan sengsara.

Inilah kenapa Allah menyebutkan turunnya Al-Qur’an lalu setelah itu Allah menyebutkan sifat rububiyahNya. Seakan-akan Allah berkata bahwa ketahuilah turunnya Al-Qur’an adalah konsekuensi dari rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai bentuk perhatian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hambaNya dan Allah turunkan Al-Qur’an demi kebahagiaan mereka.

Kemudian Allah buat pertanyaan pada ayat selanjutnya:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ…

Apakah mereka berkata: ‘Muhammad yang mengarang Al-Qur’an’

Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan sikap takjub Allah. Kenapa mereka bertanya padahal mereka tahu bahwa Al-Qur’an dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Quraisy tahu bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Kemudian mereka juga tahu bahwasannya mereka tidak mampu mengarang seperti Al-Qur’an, padahal mereka ahli sya’ir. Sehingga ketika mereka bertanya atau mereka menuduh bahwa Al-Qur’an adalah karangan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ini adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.

Kata Syaikh Sa’di Rahimahullah bahwa seakan-akan mereka juga menuduh Muhammad berdusta. Dan ini adalah kedustaan yang sangat besar. Padahal selama ini mereka tahu bahwa Muhammad adalah Al-Amin (yang terpercaya)Maka aneh ketika mereka meuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengarang Al-Qur’an.

Kemudian mereka seakan-akan menuduh manusia bisa meniru firman Tuhan. Berdasarkan perkara ini, maka pantaslah Allah berkata: “Apakah mereka berani berkata: ‘Ini karangan Muhammad`”. Mereka tahu Muhammad tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, Muhammad bukan penyair, lalu bagaimana mau mengarang Al-Qur’an. Mereka tahu bahwa mereka tidak mampu mengarang seperti Al-Qur’an. Mereka tahu bahwa Muhammad adalah orang yang terpercaya kemudian mereka nekat menuduh Muhammad berdusta. Mereka tahu Al-Qur’an tidak bisa ditiru dan mereka seakan-akan menuduh manusia bisa membuat seperti firman Allah.

Inilah kenapa seakan-akan Allah membuat pertanyaan kepada mereka, ini menunjukkan bahwasannya pertanyaan mereka itu aneh karena tidak pantas untuk dituduhkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kemudian Allah membatahnya:

بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ

Justru Al-Qur’an itu benar-benar dari Tuhanmu.

Dan hal ini mereka tahu. Sesungguhnya mereka hanya membangkang. Mereka tahu bahwasannya mereka salah tapi mereka nekat ngeyel.

Lalu kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أَتَاهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ ﴿٣﴾

Untuk kamu beri peringatan kepada suatu kaum yang sebelumnya belum datang pemberi peringatan kepada mereka.”

“Kaum” di sini ada dua pendapat. Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa “kaum” di sini maksudnya adalah Arab atau Quraisy. Pendapat yang kedua “kaum” maksudnya adalah seluruh umat manusia. Artinya di Arab belum pernah ada Rasul yang di utus. Tapi pendapat ini dikritisi. Memang benar tidak ada Nabi di Arab, namun bukankah Ismail dan Ibrahim yang membangun Ka’bah? Maka dibantah oleh para ulama dengan dua jawaban. Yaitu:

Yang pertama bahwa Islamil ‘Alaihish Salam hanya berdakwah kepada keluarganya dan kabilah Jurhum dari Yaman (keluarga istrinya). Makanya Allah mengatakan:

وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا ﴿٥٥﴾

Adalah Ismail menyuruh keluarganya untuk shalat dan membayar zakat dan dia diridhai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Maryam[19]: 55)

Jadi Ismail ‘Alaihish Salam tidak dikenal kemudian dia pergi ke kampung-kampung Arab di sana-sini, tidak. Dia tinggal di Mekah kemudian menikah dan punya anak, lalu dia mendakwahi keluarganya dan anak-anaknya saja.

Jawaban kedua, maksud dari “kaum Quraisy” yaitu bahwa setelah mereka menjadi satu kabilah yang kuat tidak pernah ada Rasul datang kepada mereka. Bukankah ketika Nabi Ismail di Mekah menikah dengan wanita dari Jurhum kemudian mempunyai anak sampai kepada Adnan. Dari keturunan Adnan muncul seorang bernama Fihir bin Malik yang merupakan nenek moyang Quraisy. Setelah itu baru terbentuk kabilah Quraisy. Dan setelah terbentuk kabilah Quraisy, belum pernah ada Rasul yang datang. Maka kalau kita maknakan kepada kaum Quraisy atau kaum Arab dengan maksud setelah terbentuk kabilah Quraisy, memang belum pernah ada Rasul yang datang kepada mereka. Ismail datang jauh sebelum terbentuknya kabilah Quraisy.

Bagaimana penjelasan selanjutnya? Mari download mp3 kajian tafsir yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48962-tafsir-al-quran-surat-as-sajdah-bagian-1/